Filmis ; Beri Aku Cerita yang Tak Biasa


Filmis ; Beri Aku Cerita yang Tak Biasa

Filmis adalah salah satu kata yang tertangkap dan terekam jelas dalam ingatan. Kata yang disebut oleh Mbak Kirana Kejora yang kerap disebut Bu'e oleh para muridnya, membuatku menyesali, kenapa enggak ikut kelas nulis antologi yang satu ini. 

Ah, penyesalan memang selalu datang belakangan. Ini yang seharusnya jadi cambuk buat aku, buat enggak mengulang kesalahan serupa. 

"Beri Aku Cerita yang Tak Biasa" memang buku antologi. Buku yang berisikan cerita-cerita pendek yang ditulis oleh 28 orang penulis ini, sebetulnya sudah aku kantongi kurang lebih di awal Oktober 2022 lalu. 

Sayangnya, aku belum juga punya cukup waktu untuk bisa melahap habis isi bukunya. Baru blurb-nya, kemudian anak-anak sibuk memanggil. Baru baca prolognya, kemudian tugas yang lain menyita waktu, dan begitu seterusnya. 

Meski aku nikmati segala kesibukan yang dijalani setiap harinya, tapi lagi-lagi kok bingung, kenapa aku nggak juga bisa menyelesaikan membaca buku ini. Satu hari, akhirnya aku benar-benar menyempatkan diri di sela-sela kegiatanku menjahit kostum costplay untuk anakku. 

Webinar "Menerbangkan Adikarya Nuswantara dalam Bingkai Cerita yang Tak Biasa"

Baru cerita pertama yang aku baca, belum apa-apa sudah menghunjam jantung. Sebelum aku mengupas sedikit tentang ceritanya, aku kembali mengingatkan tentang kata 'filmis'. Boleh, ya!

7 Oktober 2022, IIDN (Ibu-Ibu Doyan Nulis) menggelar acara via Zoom. Acara tersebut merupakan rangkaian dari perkenalan buku "Beri Aku Cerita yang Tak Biasa" dengan tema Menerbangkan Adikarya Nuswantara dalam Bingkai Cerita yang Tak Biasa. 

Dua jam berlalu terasa cukup singkat, belum lagi kata-kata yang disampaikan Kirana Kejora dan Mbak Wid yang begitu bersemangat seolah melecut-lecut hati, sehingga akhirnya menimbulkan penyesalan karena tidak terlibat dalam penulisan buku tersebut. 

Diawali dengan Mbak Wid yang awalnya sempat meragukan kemampuannya sendiri menulis kisah fiksi. Merasa bahwa dirinya adalah penulis non fiksi, yang kemudian enggan melabeli dirinya untuk menjadi penulis nonfiksi, akan tetapi, terlahirlah tulisannya dalam sebuah cerita pendek yang tak biasa. 

Ini juga yang bisa kamu serap maknanya, bahwa kita nggak musti terpaku pada apa yang dimiliki atau dikuasai saja. Berani, mendobrak zona nyaman, sehingga menghasilkan sesuatu yang baru, bisa jadi menyenangkan. 

Bukan sekali IIDN mengeluarkan buku berbau budaya karena, sebelumnya sudah ada buku yang bercerita tentang Dieng. Namun, perjalanan itu tidak berhenti, hingga akhirnya lahir buku ini. Yang meskipun bicara tentang budaya, tapi fiksi. 

Setelah Mbak Wid membuka acara, dilanjutkan dengan Mbak Kirana Kejora, yang berperan sebagai mentor dari buku ini. Mbak Key, demikian ia juga kerap disapa. Beberapa kali menyampaikan bahwa setiap tulisan yang ia lahirkan harus bersifat filmis. Alasan ini juga yang membuat karya tulisnya, akhirnya bisa tertuang ke dalam sajian film layar lebar. 

Filmis sendiri dalam KBBI berarti "bersifat film". 

Menariknya, ini juga yang aku rasakan ketika membaca tulisan mbak Key dengan Hedy Rahadian yang posisinya memang berada paling depan. Aku seolah terus dibayangi oleh totopong yang dikenakan oleh pria muda bernama Bintang. 

Totopong adalah ikat kepala tradisional khas suku Sunda. Totopong bukan sekadar kain yang diikatkan di kepala seorang pria. Totopong adalah budaya Sunda yang dulunya, mencerminkan kedudukan atau kelas seseorang di masyarakat. 

Aku sendiri nggak pernah mengira begitu menariknya totopong menjadi sebuah cerita. Tapi itulah Kirana Kejora yang memang karyanya selalu sarat dengan budaya. Alasan ini juga yang membuat ia mau berkolaborasi dengan para penulis di IIDN. Ya, cerita yang sarat akan budaya. 

Mba Key, juga sempat menyinggung bahwa tidak sedikit orang yang mengatakan bahwa menulis sesuatu yang berbau budaya itu kuno. Yang menurutnya justru adalah sesuatu yang seksi. Hey, sampe sini aku juga setuju banget. Bicara tentang budaya itu memang juga menggairahkan bagiku. 

Bahkan sebetulnya jika ada kesempatan, aku kok kepingin banget tahu budaya leluhurku yang tidak pernah aku kenal. Kelak, semoga aku bisa menelusuri jejak mereka di tanah kelahiran bapakku di Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah. 

Aku yakin, begitu banyak budaya dan sentuhan yang merasuk ke dalam diriku, yang membuat aku seperti sekarang ini. Dengan atau tanpa aku minta sekali pun. 

Kembali ke buku dan cerita pendek berjudul "Totopong Hanjuang Kakek" (petikan dari buku yang sedang digarap mbak Key dengan Hedy Rahadian berjudul Seruni Niskala), mengajak aku dengan segera membawa ke sebuah sketsa di mana adegan diceritakan. Ini yang kadang bikin aku makin lama dalam menghayati sebuah cerita, bahkan kerap hanyut). 

Ini juga yang membuat aku makin penasaran untuk segera beralih ke cerita berikutnya. Ada lagi cerita yang tidak biasa yang membuat aku melompatkan imajinasi ke negara lain, tapi juga ditarik untuk melihat bahwa makam para leluhur yang dibangun di negara ini, adalah salah satu yang memikat hati. 

Cerita kedua yang disajikan dengan apik oleh Ketua Umum IIDN; Widyanti Yuliandari yang kerap disapa Mbak Wid, membuat aku penasaran dengan Kompleks Taneyan Lanjang. Duh, inginnya aku melihat lokasi itu dari dekat. 

Baru dua cerita aku tuntaskan dalam satu kali sapuan. Namun, setelah berhari-hari tak membacanya, bayangan tentang lakon dalam dua cerita itu terus terngiang. Yang nggak kalah mengerikan, aku yakin bahwa setiap cerita yang ditulis di dalam cerpen itu memang berdasarkan data dan hasil riset yang sesungguhnya. (Ini juga dipertegaskan oleh penjelasan dari Mbak Key, di-Zoom tersebut). 

Berdasarkan hasil penelitian dan bukan hanya sekadar imaginasi belaka. Ada bobot yang takkupahami, bagaimana setiap penulis bisa menceritakan kisah fiksi yang berbalut budaya, tapi dengan begitu indah, bahkan tak lepas dari kata magis yang memang erat dengan budaya negara ini. 

"Beri Aku Cerita yang Tak Biasa" memang bukan cerita biasa. Bahkan acara Zoom tempo hari itu, dibuka dengan lagu yang nyatanya juga menyentuh kalbu aku, yaa ... Indonesia Raya. Ini luar biasa, sama sekali nggak kepikir, kok bisa ya, mengenalkan buku tapi dengan mengumandangkan lagu kenegaraan. 

Eh, tapi, sumpah, aku berebes mili ... dengan lagunya, dengan keajaiban acara ini. Teringat, beberapa waktu lalu, IIDN yang tergabung dengan Elang Nuswantara menggelar peluncuran buku ini di Perpustakaan Nasional, di Jakarta. Ini pun aku nikmati lewat tampilan Instagram Live akun IIDN di @ibuibudoyannulis dan meninggalkan kesan yang juga nggak biasa. 

Perlu diingat, bahwa apa yang diceritakan dan pesan dari buku ini, intinya adalah, bagaimana kita sebagai seorang warga negara yang kaya akan budaya ini, bisa melestarikan budaya dan bangga akan warisan leluhur yang memang sebetulnya telah mendarah daging. 

Kalau bukan kita, siapa lagi? Iya, itu pertanyaan yang memang seharusnya bisa dijawab dengan mudah, tapi praktiknya bisa dipastikan nggak mudah. 

Buat kamu yang juga pengin baca ini, masih bisa banget, loh. Jangan kamu cari di toko buku langganan kamu, ya. Karena buku ini memang dijual secara indie, tapi jangan tanya udah berapa banyak eksemplar yang dijual. Bahkan sekarang ini, sudah sampai ke cetakan yang kedua. Keren banget, ya!

Penulis IIDN memang disarankan untuk mau dan bisa menjual hasil karyanya, dan ini bersinergi juga dengan peran Mbak Key, yang menyematkan Writerpreuner di belakang namanya. 

Zoom selesai, aku mau lanjut baca cerita berikutnya, ya! Cerita berikutnya adalah tulisan Mbak Fu; Fuattutaqwiyah (ketua divisi buku IIDN) dengan judul Mayam. (KBBI: satuan ukuran berat emas yang sama dengan 1/16 bungkal). Penasaran? Cari bukunya, yuk!



# Mata # Rasa

Lita Widi H
Hey! Welcome to My Blog

Related Posts

Post a Comment